Laporan
Bacaan
Buku
Sastra Bandingan
Karangan
Sapardi Djoko Damono
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sastra Bandingan yang dibina oleh Ibu
Dr. Yenni Hayati, M.Hum.

Oleh
Novi
Yolanda
Nim.
14017064
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
A.
Pendahuluan
1. Identitas Buku
a. Judul :
Sastra Bandingan
b. Pengarang :
Buku Sastra Bandingan ini ditulis oleh
Sapardi Djoko Damono.
c.
Penerbit :
Editum
Kompleks Dosen UI No. 113
Cirendau, Ciputat 1549.
d. Tahun Terbit :
Buku Sastra Bandingan ini terbit pada
tahun 2009
e.
No ISBN :
978-979-19766-2-6
f. Tebal Buku :
134 Halaman
g. Garis besar isi buku :
Buku
Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono terdiri dari 9 Bagian,
yaitu : (1) Konsep Dasar, (2) Perkembangan, (3) Asli, Pinjaman, Tradisi, (4)
Sastra Bandingan Nusantara, (5) Membandingkan Dongeng, (6) Meninjau
Romantisisme: Kasus Puisi Inggris dan Indonesia, (7) Tentang Penerjemahan
Sastra, (8) Rabindranath Tagore dan Kita: Kasus Pengaruh Tokoh Sastra, dan (9)
Alih Wahana.
B.
Bagian Buku
Pada bagian ini akan dijelaskan
satupersatu dari setiap bagian bab/subbab dari buku Sastra Bandingan yang
ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.
Bagian
Pertama: Konsep Dasar
Bagian
ini akan menjelaskan beberapa pengertian mengenai sastra bandingan. Sastra
bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori
sendiri. Dengan kata lain teori apapun bisa dimanfaatkan dalam penelitian
sastra bandingan yang sesuai dengan obyek dan tujuan penelitiannya. Landasan
dasar dari sastra bandingan ini ialah banding-membandingkan. Pada bab konsep dasar
ini akan diuraikan beberapa pengertian dari para ahli mengenai sastra
bandingan.
Menurut
Remak, sastra bandingan ialah membandingkan sastra sebuah negara dengan negara
lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan
kehidupan. Ringkasnya, Remak berpendapat sastra dapat dibandingkan dengan
sesama bidang sastra dan sastra dengan bidang lain atau yang dianggap bukan
sastra. Pendapat Remak mengenai ini tidak dapat diterima oleh peneliti sastra
bandingan lainnya. Salah satu peneliti sastra bandingan, Nada yang merupakan
seorang pengamatan sastra Arab membantah pendapat yang dikemukakan oleh Remak.
Menurut Nada, sastra bandingan adalah membandingkan sastra dengan hanya bidang
sastra. Ringkasnya, untuk bidang-bidang lain tidak boleh dianggap sebagai
sastra bandingan. Nada juga menjelaskan, syarat utama sastra bandingan ialah
perbedaan bahasa. Baginya, kajian mengenai satu bahasa tidak dapat disebut
sebagai sastra bandingan. Namun, Nada berada dalam situasi yang tidak mudah, di
satu sisi ia menyebutkan bahwa perbedaan bahasa merupakan syarat utama, namun
karena ia juga berpegang pada pandangan bahwa hubungan kesejarahan itu penting
maka sastra Amerika bisa saja dibandingkan dengan sastra Inggris, yang pada
dasarnya dua negeri ini memiliki hubungan kesejarahan, meskipun bahasa keduanya
sama. Maka, dapat disimpulkan bahwa Nada juga sependapat dengan Remak bahwa
membandingkan dua sastra dari dua negeri yang berbeda itu sah meskipun keduanya
menggunakan bahasa yang sama, karena penggunaan bahasa yang sama justru
menunjukkan adanya hubungan kesejarahan. Selanjutnya, Clements menyatakan dalam
kegiatan akademik, syarat utama bagi peneliti sastra bandingan adalah
penguasaan bahasa sebab karya sastra yang diteliti harus dibaca dalam bahasa
aslinya. Pendapat Clements ini juga disepakati oleh Jost (1974) yang menyatakan
bahwa sastra bandingan merupakan humanisme baru yang prinsip utamanya adalah
keyakinan adanya keutuhan gejala sastra. Clements dan Jost (1974:33) membagi
pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang, yakni pengaruh dan
analogi, gerakan dan kecendrungan, genre dan bentuk, dan motif, tipe, dan tema.
Karya sastra dapat dibandingkan dengan tujuan memahami karya sastra dengan
lebih baik dengan cara membandingkannya dengan apa pun.
Bagian
Kedua: Perkembangan
Pada
bagian ini akan dijelaskan perkembangan mengenai sastra bandingan. Perkembangan
sastra bandingan mula-mula dilahirkan dan dikembangkan di Eropa. Pada abad
ke-19 dan 20 telah menumbuhkan kegiatan akademik, yakni sastra bandingan yang
memiliki prosedur dan kondisi tersendiri. Kegiatan itu pertama kali dicetuskan
oleh Sainte-Beuve, dalam sebuah artikel yang dimuat di Revue des Deux Mondes terbitan tahun 1868. Sainte-Beuve menjelaskan
bahwa cabang studi sastra bandingan baru berkembang di Prancis pada awal abad
ke-19. Di abad ke-20, pengukuhan studi sastra bandingan terjadi ketika jurnal Revue de Litterature Comparee
diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1921. Jurnal ini memuat
karangan-karangan mengenai sejarah intelektual, terutama dalam melacak pengaruh
dan hubungan yang melewati batas-batas kebahasaan.
Bagian
Ketiga: Asli, Pinjaman, Tradisis.
Istilah
asli, pinjaman, dan tradisi akan dijelaskan sebagai berikut. Sastrawan memiliki
kecendrungan untuk meminjam, langsung atau tak langsung. Misalnya, drama-drama
Shakespeare yang dianggap sebagai tonggak sastra dunia yang menurut beberapa
pakar dianggap tidak ada yang “asli”, alias “pinjaman” atau bahkan curian. Contoh
kasus pinjaman lainnya seperti kisah Romeo-Juliet. Kisah Romeo-Juliet ini
hampir sama dengan Siti Nurbaya. Dimana Siti Nurbaya yang merupakan tokoh utama
itu sebenarnya Juliet dan Samsul Bachri adalah Romeo. Contoh lainnya, dapat
kita amati dalam Salah Asuhan. Salah Asuhan yang merupakan kisah di zaman
modern yang melibatkan seorang tokoh bernama Hanafi itu sebenarnya merupakan
pengembangan dari Malin Kundang. Kesamaan kisah ini yaitu Hanafi berkelana ke
alam pikiran Barat dan tersesat tidak tahu jalan pulang dan Malin Kundang
pemuda desa yang menggembara ke negeri-negeri asing dan pulang sebagai orang yang
tidak mengenal masyrakat kemudian dikutuk menjadi batu sementara Hanafi bunuh
diri.
Perkembangan
sastra modern ini menunjukkan adanya proses saling mencuri atau saling
meminjam. Namun dalam beberapa hal yang menyangkut proses pinjam-meminjam,
dalam kesusastraan tidak meminjam pun bisa saja sebuah karya itu mirip dengan
yang telah dihasilkan orang lain di tempat dan waktu yang lain. Kemiripan juga
bisa terjadi sebagai akibat dari perkembangan masyrakat dan peristiwa besar.
Bagian
Keempat: Sastra Bandingan Nusantara
Bagian
ini akan menjelaskan mengenai sastra bandingan yang terdapat di nusantara. Indonesia merupakan negeri yang sangat
kaya akan sumber penelitian sastra bandingan. A. Ikram (1990) menawarkan studi
perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang berkembang di nusantara.
Ia membuat pengelompokan masalah berdasarkan pada konsep-konsep Clements,
yakni: (a) genre dan bentuk (b) periode, aliran, dan pengaruh, serta (c) tema
dan mitos.
Di
kawasan nusantara kita bisa menemukan genre wiracarita
dalam berbagai bentuk seperti syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai
jenis teater rakyat, dan penglipur lara.
Genre lain yang terdapat dalam kebudayaan adalah mantra, dimana semua suku
bangsa Indonesia memiliki mantra. Mantra adalah genre tradisis lisan yang bisa
dipergunakan sebagai wahana untuk mencapai berbagai jenis maksud dan tujuan. Mantra dapat digunakan untuk apa saja
seperti memikat orang, mencelakakan orang, menolak bala, mendatangkan hujan,
menyukseskan perburuan, mengobati penyakit, dan lain-lain. Dalam sastra bandingan mantra merupakan sumber penelitian yang
sangat subur sebab genre ini kedapatan di mana pun dan kapan pun. Tidak hanya
di Indonesia, bahkan orang Indian, Eskimo, Afrika, dan Aborigin menghasilkan
banyak mantra yang jika diteliti akan menghasilkan pengetahuan mengenai watak
masing-masing bangsa.
Bagian
Kelima: Membandingkan Dongeng.
Pada
bagian ini akan menjelaskan mengenai perbandingan dalam dongeng. Dalam sastra
bandingan, kegiatan membandingkan dongeng sudah banyak dilakukan. Membandingkan
dongeng yang mirip dari berbagai negara, tidak terutama untuk mengungkapkan yang
asli dan pengaruh terhadap yang lain tetapi lebih untuk mengetahui
kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak suatu
masyrakat. Dalam dunia barat, dongeng dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, dan
fabel. Contoh untuk menunjukkan pendekatan perbandingan mitos adalah
menggunakan kisah Oedipus yang berkembang di Yunani Kuno dengan kisah
Sangkuriang di Priangan, Jawa. Kisah antara Oedipus dengan Sangkuriang sangat
mirip. Persamaan kisah ini yaitu terletak pada tokoh utama yang merupakan
seorang laki-laki yang membunuh ayahnya lalu mengawini ibunya. Kait mengait
antara kisah-kisah itu bisa dijadikan bahasan dalam sastra bandingan dengan
tujuan penelitian yang berbeda-beda.
Bagian
Keenam: Meninjau Romantisisme: Kasus
Puisi Inggris dan Indonesia
Bagian
ini menjelaskan tentang kajian romantisme yang berkembang di Indonesia. Romantisisme
dalam dunia barat dikenal dengan gerakan atau kesadaran. Romantisisme atau yang
juga sering disebut romantisme terutama kalau acuannya gerakan di Prancis
adalah gerakan yang terikat pada tempat dan waktu. Para pengamat menyimpulkan
bahwa gerakan itu telah menyebar ke seluruh Eropa bahkan ke seluruh dunia,
meskipun di negeri-negeri di luar Eropa ciri-ciri Romantisisme itu dikenal juga
sebagai ujud dalam tradisi lisan dan kitab-kitab klasik dalam berbagai bahasa
yang tersebar di Asia. Romantisisme di Inggris mencakup pada waktu sekitar 100
tahun, mulai dari pertengahan abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19. Gerakan
romantik di Inggris mencapai kematangan sekitar tahun 1760 dengan munculnya
penyair-penyair seperti William Blake dan William Wordsworth serta novelis
Walter Scott, yang kemudian diikuti dengan perkembangan selanjutnya di abad
ke-19. Sedangkan di Prancis, romantisisme agak tertunda disebabkan oleh
revolusi dan peperangan Napoleon.
Di
Indonesia, Takdir Alisjahbana (2004) memberi gambaran mengenai perkembangan
pemikiran masa romantik. Ia mengatakan dengan tegas bahwa perubahan yang terbesar, yang terjadi di negeri ini dan yang penting
untuk memahamkan puisi baru sebagai pancaran masyrakat baru, yaitu perubahan
yang disebabkan oleh pertemuan masyrakat kita dengan masyrakat Eropa. Lalu
Takdir menyatakan lagi bahwa timbulnya puisi baru itu dengan langsung
dipengaruhi oleh bahasa dan puisi Eropa, atau lebih baik kita sebut puisi
internasional. Angkata muda yang duduk di sekolah berkenalan dengan anggapan
tentang bahasa dan puisi ternyata sesuai pula dengan jiwa yang tengah berbuah
itu. Dalam waktu permulaan dahulu malahan banyak di antara mereka yang menulis
puisi dalam bahasa Eropa. Beberapa pengamat telah menyepakati bahwa lawan
dari Romantisisme adalah Klasikisme. Ketika klasikisme berkembang di Eropa,
masyarakat merasa bahwa mereka hidup di zaman yang lebih tenang, universal, dan
bijak dibanding dengan zaman-zaman sebelumnya. Berbeda di Indonesia, ciri-ciri
klasikisme banyak ditampakkan dan diterapkan pada kitab-kiab klasik yang
ditulis dalam berbagai bahasa seperti Melayu, Sunda, dan Jawa.
Dalam
tradisi lisan, dengan berbagai genre seperti pantun dan pepatah, beberapa ciri
klasikisme dengan mudah kita temukan, terutama yang menyangkut pandangan hidup
berdasarkan keseimbangan dan kebersamaan. Kata ‘romantik’ di Inggris mulai
diperkenalkan pada pertengahan abad ke-17. Kata itu lebih sering dipakai dalam
pengertian roman, yakni kisah atau masalah yang menyangkut hubungan perempuan
dan laki-laki dalam percintaan. Jika kaum klasikis menyatakan bahwa dunianya
seimbang dan selaras, maka kaum romantik menyatakan sebaliknya, yakni dunia ini
hingar bingar dan penuh pesona. Puisi merupakan hasil utama gerakan romantik.
Fiksi dianggap memiliki nilai-nilai romantik. Gerakan Romantik di Indonesia dan
di Inggris dapat kita lihat pada sajak yang berjudul “Pagi-pagi” oleh Yamin
dengan sajak yang berjudul “I Wandered Lonely as a Cloud”, ‘Aku Menggembara
Sendirian sebagai Awan’ oleh William Wordsworth. Kedua sajak ini sama-sama
mengutip penggunaan alam. Kedua penyair tersebut mengungkapkan pandangan bahwa
alam itu utuh, satu, dan bahwa semua yang ada ini merupakan bagian dari alam.
Mungkin itulah yang tepat untuk menggambarkan ciri utama dari Romantisisme,
yakni penggunaan alam.
Bagian
Ketujuh: Tentang Penerjemahan Sastra
Bagian
ini menjelaskan tentang penerjemahan dalam sastra. Menurut Gifford,
pandangannya mengenai sastra terjemahan bernilai negatif, dimana ia
mengibaratkan sastra terjemahan sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih
dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Selanjutnya, ia
mengatakan juga bahwa tidak ada terjemahan yang bisa menandingi taraf kehalusan
dan kelengkapan yang ada dalam imajinasi penulis asli dalam menyusun bahan karangannya,
karena itulah keutuhan karya sastra asli dimiskinkan oleh terjemahan, meskipun
taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkan.
Terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh.
Karya
sastra tidak akan bisa dibanding-bandingkan jika bahannya adalah karya
terjemahan. Terjemahan tidak akan bisa sama dengan aslinya. Konsep terjemahan
memiliki spektrum yang luas, yang dua kutubnya tampak tidak memiliki hubungan
sama sekali, di suatu sisi terjemahan itu merupakan usaha mati-matian untuk
setia kepada aslinya, di ujung lain merupakan hasil kegiatan kreatif yang
dinamik. Bagi orang Prancis, terjemahan dianggap sebagai trahison creatrice yang artinya ‘pengkhianatan kreatif’, sementara
bagi orang Italia, terjemahan dianggap sebagai traditore yang artinya ‘pengkhianatan’. Dapat disimpulkan bahwa
penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam
suatu kebudayaan menjadi cara
pengungkapan ada dalam kebudayaan lain. Bagi John Dryden, seorang penyair
mengatakan ‘penerjemah’ ialah hanyalah
budak yang bekerja di kebun orang lain; kita mengurus kebunnya sedangkan kebun
itu tetap saja jadi milik di empunya. Maksudnya, ialah bahwa si pemilik
kebun memiliki kekuasaan mutlak atas apa yang dilakukan oleh si budak. Selanjutnya, Helaire Bellock yang
merupakan seorang sastrawan Inggris menyatakan bahwa seni penerjemahan adalah Subsidiary art and derivative ‘seni
tambahan dan seni tiruan’. Terjemahan tidak memiliki kewibawaan dan keagungan
karya asli dan bahkan pada suatu waktu sama sekali menghancurkan seni
terjemahan itu sendiri. Andre Levefere mengusulkan agar terjemahan sebaiknya
ditelaah sejalan dengan apa yang disebutnya sebagai rewriting ‘penulisan kembali’ sebab merupakan strategi yang sangat
penting yang dipergunakan para sastrawan untuk mengadaptasi apa yang ‘asing’ ke
norma-norma budaya masyrakat yang menerimanya.
Pada
abad ke 20, seorang sastrawan Amerika, Ezra Pound menyatakan bahwa
menerjemahkan adalah menghidupkan kembali orang mati. Pernyataan Ezra Pound ini
mirip dengan Walter Benjamin mengenai terjemahan, yakni sebagai afterlife ‘kehidupan sesudah kematian’.
Lacques Derrida menyebutkan penerjemahan
merupakan kegiatan yang sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan
kehidupannya di konteks lain- hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks
yang baru.
Jika
kita lihat pada penyair kita, penerjemahan banyak dilakukan oleh Chairil Anwar
yang dianggap pelopor suatu pembaruan sastra sekaligus dituduh sebagai penyair
yang suka mencuri karya penyair asing. Salah satu sajak yang diterjemahkan oleh
Chairil Anwar adalah sajak ‘Poem’ karya John Cornford, yang dalam terjemahannya
diberi judul “Huesca”. Selanjutnya pengkhianatan yang dilakukan oleh Chairil
Anwar ialah sajak yang berjudul ‘Karawang Bekasi’ yang oleh beberapa pengamat,
sajak itu dianggap plagiat dari sajak Archibal MacLeish yang berjudul “The
Young Dead Soldiers”. Jika kita lihat pada zaman lampau, nenek moyang kita
dahulunya telah meminjam bahkan mencuri dan mengembangkan aksara dari bangsa
lain. Nenek moyang kita mengembangkan aksara yang dipinjam dari India lalu
mengembangkan dan menghasilkan aksara Jawa, sunda, dan Bali. Sebab itulah
khazanah sastra kita ada dalam bayang-bayang sastra India karena kita telah
menerjemahkan banyak karya mereka seperti Mahabrata dan Ramayana. Dengan
demikian, terjemahan menyebabkan karya sastra bertahan hidup.
Bagian
Kedelapan: Rabindranath Tagore dan Kita
Bagian
ini menjelaskan tentang Rabindranath Tagore.
Pada umumnya kita telah mengenal Tagore sebagai pujangga Asia pertama yang
menerima Hadiah Nobel. Pujangga besar ini telah banyak menghasilkan lebih dari
1000 sajak, dua lusin naskah lakon, delapan novel, delapan kumpulan cerpen,
2000 lagu yang lirik dan musiknya ditulis sendiri, serta sejumlah karangan yang
topiknya meliputi berbagai bidang seperti kesusastraan, kemasyrakatan,
keagamaan, dan politik. Belum lagi rangkaian ceramahnya diberbagai negara di
Asia, Eropa, dan Amerika. Di tambah lagi dengan jadwal kegiatannya yang padat
sebagai pendidik, pembaharu sosial dan agama, serta politisi. Itu semua
dikerjakannya selama lebih dari 60 tahun, sepanjang kariernya sebagai
sastrawan, budayawann, dan politisi.
Gosh
(1948) menyebutnya sebagai titan,
yaitu tokoh yang sangat menjulang dan luar biasa. Tagore banyak menulis dalam bahasa Bengali.
Kemudian, sejumlah karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh ia
sendiri maupun orang lain. Dalam puisi religiusnya, Tagore sering mengungkapkan
“luka hati” yang sedap dan helaan nafas yang sedap” tinimbang penghayatan yang
dalam, yang merupakan hasil dari pergulatan hidup-mati melawan kenyataan.
Menurut Gosh, puisi Tagore lebih tampak dalam terjemahan bahasa Inggrisnya dari
pada bahasa aslinya, meskipun ada beberapa sajak yang menjadi lebih baik dalam
terjemahan Inggrisnya. Tagore menulis sajak ketika usianya sudah 50 tahun. Rabindranath
Tagore (1927-1929) sempat melawat ke Jawa dan Bali. Ia merekam kesan-kesannya
tentang Jawa dan Bali dalam sejumlah surat, yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam majalah terbitan lembaga yang
didirikannya. Surat-surat Tagore menggambarkan keindahan alam Bali.
Bagian
Kesembilan: 9 Alih Wahana
Bagian
ini menjelaskan hakikat Alih wahana. Alih Wahana adalah perubahan dari satu
jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Sebelumnya telah disinggung bahwa karya
sastra tidak hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan dari satu bahasa ke
bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian
lain. Seperti cerita rekaan yang diubah menjadi tari, drama, atau film, dan
puisi yang lahir dari lukisan atau lagu. Membanding-bandingkan benda budaya
yang beralih wahana itu merupakan kegiatan yang sah dan bermanfaat bagi
pemahaman yang lebih dalam mengenai hakikat sastra.
C. Komentar
Buku
Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono pada tahun 2009 ini
merupakan buku yang memberi gambaran tentang hakikat dari kajian sastra
bandingan. Damono memberi pemahaman secara ringkas bagi pembaca untuk
mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi objek dari sastra bandingan. Buku ini
juga sangat bermanfaat apabila dijadikan sebagai salah satu acuan untuk
melakukan penelitian sastra bandingan.
Pada dasarnya sastra bandingan
merupakan salah satu studi sastra dengan membanding-bandingkan antara karya
sastra satu dengan karya sastra lainnya, maka dari itu untuk memahami secara
mendalam diperlukan rujukan yang lain sebagai pembandingnya. Pada bagian ini
penulis akan membandingkan buku Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi
Djoko Damono (2009) dengan buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan yang
ditulis oleh Suwardi Endraswara (2011) dengan tujuan untuk menambah pemahaman
secara mendalam mengenai sastra bandingan.
Buku Metodologi Penelitian Sastra
Bandingan yang ditulis oleh Suwardi Endraswara merupakan buku yang terbit di
Jakarta pada tahun 2011 oleh penerbit buku pop, cetakan pertama pada bulan
April. Buku ini memiliki tebal buku 235 halaman dengan luas 14x20 cm, xi.
Dengan no ISBN 978-979-1012-43-0. Buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan
ini terdiri dari 11 Bab yaitu : (1) Hakikat,
(2) Sejarah, (3) Antara Sastra Nasional,
Sastra Dunia, dan Sastra Umum, (4) Ruang Lingkup Penelitian, (5) Ontologi, (6)
Epistemologi, (7) Aksiologi, (8) Metode Penelitian, (9) Interdispliner, (10)
Penelitian Intertekstual dan Intratekstual, dan (11) Keterjalinan Teks dan Konteks.
Perbandingan antara buku Sastra
Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dengan Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan oleh Suwardi Endraswara, jika dilihat dari segi kajian dan
pembahasannya tidak terlalu jauh berbeda. Buku ini sama-sama menyajikan hakikat
serta teori dalam sastra bandingan.
Perbedaan antara buku Sastra
Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dengan Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan oleh Suwardi Endraswara yaitu terdapat dalam gaya
penulisannya. Sebenarnya, jika dilihat dari isi dan pembahasannya, kedua buku
ini mayoritas hamipir sama. Hanya saja ada beberapa perbedaan yang membedakan
antara kedua buku ini. Seperti yang kita ketahui, bahwa setiap pengarang pasti
memiliki gaya penulisan yang berbeda.
Buku
Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono ini lebih menyampaikan
unsur cerita yang dialami oleh Damono sendiri. Damono menyampaikan maksud dari
sastra bandingan dengan menampilkan beberapa teori yang dikemukan oleh para
ahli serta contoh-contoh cerita yang pada dasarnya telah diketahui oleh orang
banyak seperti kisah Oedipus, Sangkuriang, Mahabrata, Ramayana, dll. Melalui
berbagai cerita-cerita tersebutlah, Damono menyampaikan gagasannya mengenai
maksud dari sastra bandingan itu sendiri sehingga membuat pembaca lebih mudah
memahaminya. Di samping itu, Damono juga menampilkan beberapa perbandingan
mengenai sajak yang disampaikan oleh penyair dari dalam serta luar negeri
dengan maksud untuk memahami secara mendalam sastra bandingan. Yang pada
dasarnya sastra bandingan merupakan membandingkan antara karya satu dengan
lainnya.
Berbeda dengan buku Metodologi
Penelitian Sastra Bandingan oleh Suwardi Endraswara. Buku Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan ini berisi hakikat, sejarah dari sastra bandingan, hubungan
sastra dengan ilmu filsafat, dan metodologi penelitian yang pada dasarnya
merupakan inti dari buku ini. Jika dibandingkan dengan buku Sastra Bandingan
yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damomo, buku Metodologi Penelitian Sastra
Bandingan oleh Suwardi Endraswara lebih sedikit membicarakan mengenai hakikat
maupun objek sastra bandingan itu sendiri, karenan buku Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan ini lebih banyak menceritakan tentang metodologi penelitian
beserta tahap-tahapannya. Adapun Persamaan yang lain pada kedua buku ini, yaitu
terletak pada teori dari para ahli mengenai sastra bandingan. Seperti para ahli
Remik, Nada, dll yang pada kedua buku ini sama-sama menyampaikan gagasan serta pendapat
yang dikemukakan oleh para ahli tersebut mengenai sastra bandingan. Di samping
itu buku ini juga mengutip beberapa pendapat yang dikemukakan oleh Damono, dan juga
dapat disimpulkan bahwa buku ini merupakan buku yang referensinya mengacu pada buku
Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.
Berdasarkan uraian diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa buku Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi Djoko
Damono dan Metodologi Penelitian Sastra Bandingan oleh Suwardi Endraswara, yang
pada dasarnya sama-sama membahas mengenai sastra bandingan. Perbedaanya hanya terletak
pada gaya penulisannya serta model penceritaannya, Dimana buku Metodologi Penelitian ini lebih
luas menbahas bagaimana tahapan metodologi mengenai Sastra Bandingan, sedangkan
buku Sastra Banding yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono lebih menyampaikan gagasan
mengenai kajian sastra bandingan secara lebih mendalam. Di samping itu, penyampaian
yang disampaikan Endraswara dalam bukunya lebih tajam dan luas, sehingga
membuat pembaca lebih mengerti. Sedangkan pada buku Damono, ada beberapa
penceritaan yang sulit dipahami, maka dari itu diperlukan baca berulang-ulang
untuk mengetahui maksud dari penceritaan yang disampaikan oleh Damono.
D. Penutup
Pandangan
penulis pada buku yang dilaporkan yaitu buku Sastra Bandingan yang ditulis oleh
Sapardi Djoko Damono dan buku pembanding Metodologi Penelitian Sastra Bandingan
yang ditulis oleh Suwardi Endraswara ini merupakan buku yang berkualitas, yang
dapat memberi wawasan secara mendalam mengenai sastra bandingan.
Adapun manfaat dalam membuat laporan
bacaan buku Sastra Bandingan ini yaitu, secara mendalam penulis dapat memahami
hakikat dari sastra bandingan tersebut, terlebih lagi yang terdapat pada buku
ini. Selanjutnya, penulis juga lebih dapat memahami kajian sastra bandingan
melalui buku pembanding yaitu buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan yang
ditulis oleh Suwardi Endraswara, yang pada dasarnya kedua buku ini membahas hal
yang sama, yaitu sastra bandingan.
Jika
dilihat dari struktur bahasa, buku Sastra Bandingan yang ditulis oleh Sapardi
Djoko Damono masih banyak terdapat ejaan yang sedikit rancu, sehingga sedikit
membingungkan dalam hal memaknainya, dan banyak kata-kata yang diulang-ulang. Di
samping itu, buku ini juga tidak memberikan penomoran pada bab, dan langsung
mencatumkan judul sesuai dengan pembagian pembahasan pada buku ini, maka dari
itu akan menyulitkan pembaca dalam hal memahaminya. Sedangkan pada buku pembanding,
Metodologi Penelitian Sastra Bandingan yang ditulis oleh Suwardi Endraswara,
ejaan yang digunakan lebih memadai dan pembagian pada bab jelas diungkapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar